Jangan Tumbang Saat Dihina, Jangan Terbang Saat Dipuji

Manusia pada dasarnya suka dipuji. Kita sering berusaha menampilkan citra terbaik agar dihormati, sementara celaan biasanya kita hindari sebisa mungkin. Rasanya tidak enak kalau dicela, sementara hati jadi berbunga-bunga saat dipuji.

Tapi, saudaraku, kalau kita mau merenung sejenak, sebenarnya celaan justru lebih bermanfaat untuk diri kita dibandingkan pujian.

Kenapa bisa begitu?

Kalau kita dipuji orang lain dan pujian itu memang benar ada pada diri kita sering kali hati tergelincir pada penyakit ujub (bangga diri) atau bahkan sombong. Kalau ternyata pujian itu tidak sesuai dengan keadaan kita, namun kita tetap senang, maka kita terjatuh pada peringatan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

"Siapa yang merasa puas dengan sesuatu yang tidak ada pada dirinya, ia bagaikan memakai dua pakaian kedustaan." (HR. Muslim)

Sementara kalau kita dicela orang, ada dua kemungkinan:

Kalau celaan itu benar, maka itu jadi bahan introspeksi untuk memperbaiki diri.

Kalau celaan itu tidak benar, maka justru kita dapat pahala gratis tanpa melakukan amal tambahan, asalkan kita sabar.

Tidak heran para ulama salaf berkata:

"Tidak akan membahayakan kamu orang-orang yang mencela kamu."

Yang jadi masalah justru kalau hati kita ikut terbakar oleh celaan itu, lalu timbul rasa baper, dendam, bahkan niat membalas dengan lebih kejam. Saat itu, dosa kita bisa lebih besar daripada orang yang mencela kita.

Makanya, kalau dipikir-pikir, celaan sebenarnya bisa membuat kita rendah hati, jauh dari sifat sombong, dan lebih banyak mengingat Allah.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun bersabda:

"Tidaklah harta seorang berkurang karena sedekah, dan tidaklah seorang didzalimi lalu ia bersabar, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya." (HR. At-Tirmidzi)

Pujian: Pedang Bermata Dua

Di sisi lain, pujian justru bisa berbahaya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mengingatkan ketika ada seseorang memuji orang lain di hadapannya:

"Engkau telah memenggal leher saudaramu." (HR. Bukhari dan Muslim)

Kenapa sampai diibaratkan seperti itu? Karena pujian bisa membuat seseorang kehilangan keikhlasan. Riya mulai muncul, hati jadi lalai, dan perlahan-lahan amalan bisa batal gara-gara ujub. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

"Seandainya kalian tidak pernah berbuat dosa, sungguh aku khawatir kalian akan tertimpa sesuatu yang lebih besar: yaitu rasa bangga diri (ujub)."

Bahkan lebih parah lagi, pujian yang berlebihan bisa menjerumuskan ke dalam kesombongan. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

"Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji zarrah dari kesombongan." (HR. Muslim)

Maka, Carilah Pujian Allah

Saudaraku, bukan berarti kita harus mencari-cari celaan. Tapi kalau Allah sayang pada hamba-Nya, terkadang Allah hadirkan orang-orang yang mencela agar kita terjaga dari penyakit hati, agar kita terus introspeksi, dan agar amal kita tetap ikhlas.

Karena itu, jangan pernah mengharapkan pujian manusia. Cukuplah kita mencari pujian Allah. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

"Barang siapa meridhakan Allah meskipun manusia murka kepadanya, maka Allah akan mencukupinya dari manusia. Dan barang siapa meridhakan manusia tetapi Allah murka kepadanya, maka Allah akan menyerahkannya kepada manusia."

Bayangkan betapa ruginya kalau Allah sampai berpaling dari kita, hanya karena kita sibuk mengejar pengakuan manusia.

Maka, tugas kita hanyalah beramal shalih dengan ikhlas, tanpa berharap sedikit pun sanjungan manusia. Sebab, yang kita cari hanyalah ridha Allah, bukan pujian yang justru bisa merusak hati.

اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِمَّنْ تَبْتَغِي رِضَاكَ وَتُجَنِّبْنَا رِيَاءَ وَالْعُجْبَ

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّار

Posting Komentar

0 Komentar