Rasulullah SAW Melarang Mencela Nasab Keturunan Orang Lain

Rasulullah SAW Melarang Mencela Nasab Keturunan Orang Lain

Ada yang bertanya tentang hukum mencela nasab orang lain. Pertanyaan ini, mungkin terkait berita ada oknum yang meragukan keshohihan nasab Alawiyin.

Maka perlu kami sampaikan bahwa hukumnya Haram (pelakunya dianggap kufur), sebab Rasulullah ﷺ memberi peringatan keras bagi siapapun yang mencela nasab :
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال، قال: رسول الله صلى الله عليه وسلم : «اثنتان في الناس هما بهم كفر: الطعن في النسب، والنياحة على الميت».
Dari Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu-, ia berkata, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Dua perangai kekufuran dalam diri manusia: mencela nasab dan meratapi mayat."
(Hadits sahih - Diriwayatkan oleh Muslim)

Maka muslim manapun yang melanggar perintah Nabi  ﷺ ia  tidak patut untuk di ikuti dan ucapannya tidak bisa dijadikan pegangan. (Kita doakan pelaku bertobat dari kekufurannya dan mendapatkan hidayah agar bisa mati dalam keadaan husnul khotimah).

Fenomena untuk meragukan nasab Alawiyin bukan hal yang baru.


Di dalam kitab Khulashatul Atsar (1/75) disebutkan: “Sebagian ulama menceritakan bahwa ketika para Alawiyin telah memiliki posisi yang kuat di Hadramaut, terdapat sejumlah ulama di wilayah itu yang ingin memastikan keshahihan nasab mulia mereka. Maka mereka meminta para Alawiyin untuk mendatangkan bukti yang dapat diterima. Maka berangkatlah al-Imam al-Hafizh al-Mujtahid Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Jadid (bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa, Pent.) ke Irak. Beliau akhirnya dapat menetapkan keshahihan nasab Alawiyin dan mempersaksikan itu kepada seratus orang adil yang akan berangkat haji. Lalu menetapkan keshahihan nasab itu di Mekkah dan mempersaksikan kepada semua jamaah haji dari Hadramaut. Maka para jamaah haji Hadramaut itu datang pada hari yang ditentukan dan mempersaksikan keshahihan nasab itu di hadapan ulama Hadramaut.”
Dalam ilmu fikih para ulama telah menjelaskan bagaimana cara menetapkan sebuah nasab.

Yaitu dengan bukti (al-bayyinah), pengakuan (al-iqrâr), keputusan hakim (hukmul qâdhî) dan berita yang tersebar luas (al-istifâdhah). Tiga cara pertama bisa dilakukan jika pelaku peristiwa kelahiran masih hidup. Adapun cara yang keempat dipakai dalam penetapan nasab yang tidak melibatkan pelaku. Cara terakhir inilah yang umumnya dijadikan sumber penulisan kitab-kitab nasab yang kadang baru disusun jauh setelah tokoh yang dibahas meninggal. Informasi tentang nasab tidak mesti tercatat pada lembaran, tapi bisa juga terhapal dalam ingatan orang-orang. Apalagi pembahasan nasab habaib yang notabene berlatar belakang bangsa Arab yang mereka dikenal sangat teliti dan mendetail dalam mencatat dan menghapal nasab mereka.

Kebiasaan mengolok-olok, mencela atau menghina nasab juga menjadi tradisi kaum jahiliyyah
Dalam satu riwayat, sebab turunnya ayat ini adalah, bahwa Nabi Muhammad Saw sering diolok-olok oleh kaum musyrikin sebagai orang yang keturunannya terputus. Kemudian turunlah surat al-Kautsar ini, yang memberi motivasi dan kegembiraan kepada Rasulullah atas olok-olok tersebut. Dalam ayat ketiga surat al-Kautsar disebut:
اِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْاَبْتَرُ 
“Sesungguhnya pembencimu lah yang abtar (terputus)”.

Ayat ketiga dari surat al-Kautsar tersebut memberi penjelasan, bahwasanya orang yang megolok-olok Nabi Muhammad lah sebenarnya yang terputus. Kata Abtar di sini memiliki makna terputus, yang dalam riwayat populer dijadikan olokan kepada Rasulullah sebagai orang yang terputus nasab keturunannya. 

Sebagaimana kita tahu, Rasulullah juga memiliki anak laki-laki, yakni Sayyid Qasim dan Ibrahim. Namun mereka wafat saat usianya masih kecil. Sementara itu, putri-putri Rasulullah yang lain juga tidak berumur panjang. Putri Rasulullah Zainab, Ruqayyah, dan Ummu Kultsum semuanya wafat mendahului Rasulullah Saw. Tinggal Fatimah yang hidup setelah Rasulullah wafat dan melanjutkan nasab Rasulullah Saw. lewat kedua putranya, Sayyid Hasan dan Husain.

Dalam hadits riwayat Thabrani, yang menerangkan bahwa Fatimah menjadi kunci nasab keturunan Rasulullah. Rasulullah ﷺ bersabda: “Setiap keturunan perempuan terhubung melalui jalur bapaknya, kecuali keturunan Fatimah. Kepadaku nasab mereka tersambung dan aku adalah bapak mereka.”
Mencela nasab adalah perbuatan dosa besar bahkan disebut Rasulullah SAW dengan kata “kufrun”. Terlebih jika yang dicela adalah nasab yang mulia dari ahlul bait (keluarga) Rasulullah SAW.

Lebih-lebih lagi, nasab tersebut telah diakui ratusan tahun secara mutawatir oleh para ulama dan ahli nasab tentang keshahihannya. Wallahu a’lam.

Semoga Allah senantiasa membimbing kita dengan hidayah dan TaufiqNya.

Posting Komentar

0 Komentar